Makna Persatuan dan Perpecahan

Penulis: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Betapa seringnya kita mendengar slogan-slogan persatuan. Hampir setiap kelompok manusia berbicara tentang hal ini. Bahkan telah terkenal di kalangan kita suatu pepatah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh atau bersatu kita kukuh bercerai kita rapuh. Tapi siapa yang dipersatukan? Dan atas dasar apa dipersatukan?

Kalau sekedar persatuan kelompok atau persatuan golongan, orang musyrikin Jahiliyah pun sudah berbicara tentang itu. Bahkan menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak kepada tauhid itu sebagai pemecah belah dan perusak persatuan mereka. Kemudian muncul persatuan ummat beragama untuk menghadapi atheisme yang juga menganggap pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak kepada tauhid itu sebagai penghalangnya.

Kemudian muncul pula persatuan agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) yang pernah muncul di Mesir dan kembali mereka menganggap kaum Muslimin yang berpegang teguh dengan ajaran nabinya dan mengibarkan bendera al-wala` (loyalitas) wal bara` (berlepas diri) sebagai penghalang utamanya. Itu semua jelas batil dan sesat!

Namun demikian, yang jadi masalah bagi kita sekarang adalah munculnya berbagai macam syubhat-syubhat persatuan di kalangan kaum Muslimin yang tidak jelas dasar persatuannya. Sebagian mereka mengajak kepada persatuan kelompoknya atau organisasinya dan menganggap mereka yang tidak ikut ke dalam kelompoknya (firqah) berarti tidak mau bersatu. Ada pula yang mengutamakan persatuan di atas urusan tauhid-syirik atau sunnah-bid’ah. Maka kita dapati sebagian mereka tidak berani bicara tentang Tauhid Uluhiyyah dan membiarkan kesyirikan, karena takut dan khawatir akan terjadi perpecahan. Dan kita dapati yang lain juga tidak mau berbicara tentang bid’ah dan ahli bid’ah, bahkan mengajak untuk bersikap netral pada mereka juga dengan alasan persatuan dan menghindari tafarruq (perpecahan).

Akhirnya, yang terjadi adalah persatuan antara Muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dengan Musyrikin atau persatuan antara Ahlul Bid’ah dengan Ahlus Sunnah. Dan Ahlus Sunnah yang membantah kesyirikan dan kebid’ahan dicap sebagai pemecah belah persatuan dan kesatuan, kaku, tidak memahami strategi da’wah dan lain-lain.


Syubhat-syubhat Sekitar Persatuan

Adapun di antara syubhat-syubhat tersebut adalah:

  1. Ucapan yang muncul dari firqah Jamaah Tabligh bahwa ilmu dibagi dua:

    Ilmu fadha`il (keutamaan) dan Ilmu masa`il (syari’at). 

    Kemudian menganjurkan pengikutnya untuk berbicara ilmu fadhail dan melarang untuk berbicara ilmu masail. Dan mengatakan:

    “Serahkan saja pada ustadz-ustadz (kiai) di daerahnya masing-masing.”
    [1]

    - - -
  2. Ucapan yang muncul dari firqah Ikhwanul Muslimin:

    “Kita saling tasamuh (toleransi) terhadap apa-apa yang kita perselisihkan (berbeda).”

    - - -
  3. Ucapan Harakiyyin (gerakan politik):

    “Kita tidak perlu membantah ahlul bid’ah selama kita dan mereka sedang menghadapi musuh yang sama yaitu thaghut.”

    - - -
  4. Ucapan dari mereka yang terfitnah dengan fikrah Sururiyyah:

    “Kita wajib menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka (ahlul bid’ah)”.

    Bahkan, mereka menganggap pengkhianat orang yang tak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah itu (simak bantahan Syaikh Rabi’ Al Madkhali terhadap Salman Al-Audah dalam kitab Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah fi Naqdir Rijal). Kemudian mereka menamakannya dengan al-inshaf atau keadilan.

Semua ucapan ini dikatakan syubhat karena memang syubhat (tidak jelas / samar).

Misalnya syubhat pertama (1), yaitu:

“serahkan saja pada ustadz-ustadz di daerahnya masing-masing”.

Siapa yang dimaksud? Tetapi maksudnya menjadi jelas jika dilihat dari sikap dan amalan mereka: masuk di daerah syirik, tidak membantah kesyirikan dan masuk ke daerah bid’ah, tidak mau membantah bid’ah. Serahkan saja kepada kiainya masing-masing, yaitu kiai yang mengajarkan kepada mereka kebid’ahan dan kesyirikan tersebut.

Pada syubhat kedua (2):

Tidak jelas perselisihan dalam masalah apa yang kita harus bertasamuh (toleransi). Kalimat samar ini akan menjadi jelas dengan melihat amalan-amalan mereka dan usaha mereka untuk mempersatukan Ahlus Sunnah (Sunni) dengan Syiah, Sufi dengan Khawarij, dan lain-lain.[2]

Seharusnya ucapan yang haq, pasti benar, dan jelas adalah ucapan Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)

Sungguh aneh mengapa syiar Allah yang jelas dan pasti itu mau dikalahkan dengan syubhat yang samar seperti ini.

Syubhat ketiga (3):

Pun tidak jelas bahkan kabur, siapa yang dikatakan musuh itu? Siapa yang dimaksud dengan thaghut? Hanya saja, dari gerakan mereka, semua orang tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa yang dimaksud musuh adalah lawan politiknya. Padahal, semua syetan dari kalangan manusia dan jin yang mengajak kepada kesesatan, kekufuran, dan kesyirikan adalah thaghut yang harus diingkari.

Adapun untuk syubhat keempat (4):

Sifatnya lebih halus dan lebih samar, tidak jelas kapan kita harus menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Dan tentunya yang lebih halus dan samar ini jauh lebih berbahaya dan lebih banyak menipu kaum Muslimin sehingga dapat membikin lemah sikap al-wala` wal bara`. Yang jelas, semua syubhat ini berakibat fatal. Seorang penyembah kubur akan tetap menyembah kubur, karena mengikuti ustadz-ustadz (syaikhnya) masing-masing. Seorang Syiah akan tetap Syiah karena dibiarkan dan dihormati pendapatnya dalam rangka tasamuh (toleransi). Seorang Sufi, Mu’tazilah, Khawarij, Jahmiyyah dan lain-lain dari ahli bid’ah akan tetap tenang dan mantap dalam kesesatannya masing-masing, karena dianggap manhaj Salaf dan seluruh ahlul bid’ah itu sama-sama memiliki kebaikan dan kejelekan, dan mereka merasa sama karena diajak kerja sama.

Demi Allah!… ini adalah kalimat-kalimat yang kelihatannya sepele tapi amat besar akibatnya. Syubhat-syubhat yang kelihatannya mengajak kepada persatuan, ternyata membiarkan umatnya berpecah belah dalam berbagai macam aliran bid’ah dan kelompok-kelompok hizbiyyah.

Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan persatuan dan perpecahan?


Makna Persatuan dan Perpecahan
Ikhwan fiddin a’azzakumullah, sesungguhnya dalam masalah persatuan ini kita harus melihat kembali dalil-dalilnya. Karena setiap Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Al-Jama’ah (yang diistilahkan dengan persatuan) selalu dihubungkan dengan:

1. Siapa yang dipersatukan?
2. Apa dasar persatuannya?

Penjelasan

1. Siapa yang dipersatukan atau yang dipersaudarakan?

Sesungguhnya yang dipersatukan oleh Allah dalam Al-Qur`an adalah orang-orang yang beriman dan kaum Muslimin secara umum.

Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ ﴿الحجرات: ١٠﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)

Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan beriman kepada hari akhirat serta qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.

Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ﴿رواه مسلم﴾

“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan bangunan yang saling menopang sebagian terhadap sebagian yang lain.” (HR. Muslim)

Dan berkata pula:

المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ﴿أخرجه مسلم﴾

“Muslim adalah saudara muslim yang lain.” (HR. Muslim)

Dan tentunya kaum Muslimin adalah yang bersyahadat dengan dua kalimat syahadat dan melaksanakan rukun-rukun Islam khususnya shalat dan zakat yang tersebut dalam firman Allah:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ﴿التوبة: ١١﴾

“Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat maka (mereka) adalah saudara-saudara kalian dalam dien.” (Taubah: 11)

Maka, tetaplah mereka kaum musyrikin diperangi sampai mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Allah berfirman:

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu maka bunuhlah kaum musyrikin di mana saja kalian temui mereka, tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (jangan diperangi).” (At-Taubah: 5)

Jadi bukanlah memecah belah persatuan apabila Abu Bakar Ash-Shiddiq radliallahu anhu memerangi kaum Muslimin yang menolak untuk membayar zakat, bahkan sebaliknya beliau radhiallahu anhu memeranginya dalam rangka mempersatukan mereka kembali dalam satu jama’ah, yaitu Al-Jama’ah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya ada di atasnya.

Oleh karena itu, kepada hamba-hamba Allah tersebut (kaum Mukminin dan Muslimin) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan:

“Janganlah kalian saling iri dan jangan bermain harga untuk menipu (dalam berjualan) dan jangan saling bermusuhan dan janganlah saling berpaling, serta jangan membeli/menjual barang yang masih ditawar saudaranya. Dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Sehingga jelas di sini bahwa yang dimaksud bukanlah persatuan kelompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membangga-banggakan kelompok/organisasinya. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti terhadap orang kafir. Dan bukan pula persatuan antara Muwahhidin dan Musyrikin atau persatuan antara Ahlus Sunnah dengan berbagai aliran sesat.

2. Apa dasar persatuannya?

Perintah Allah untuk bersatu dalam Al-Jama’ah selalu diikuti dengan penjelasan dasarnya, kemudian memperingatkan bahwa menyalahi dasar-dasar tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpecahan. Allah berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا… ﴿ال عمران: ١٠٣﴾

“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali Imran: 103)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan hablullah (tali Allah) ialah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al-Qur`an sedang lafaz walaa tafarraqu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untuk berjama’ah dan melarang perpecahan.[3]

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah (jalan itu) dan jangan mengikuti jalan-jalan lain (subul) sehingga kalian akan berpecah dari jalan Allah.” (Al-An’am: 153)

Berkata Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu: “Allah memerintahkan berjama’ah serta melarang perselisihan dan perpecahan.”[4]

Mengomentari makna Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:[5]

“Shirathal Mustaqim ialah jalan yang Allah gariskan untuk para hamba-Nya, jalan yang bisa menghantarkan mereka kepada-Nya dan tidak ada jalan kepada-Nya selain jalan-Nya. Bahkan seluruh jalan akan berakhir (berujung) kepada makhluk, kecuali jalan yang telah Dia gariskan melalui lisan para Rasul-Nya yaitu mengesakan Allah dalam beribadah dan mengesakan Rasul dalam ketaatan. Oleh karena itu, jangan pula menyertakan sesuatupun bersama Allah dalam beribadah kepada-Nya (yakni syirik). Dan jangan menyertakan seorangpun bersama Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam mutaba’ah (mengikuti). Dengan demikian, yang dimaksud Shirathal Mustaqim hanyalah tauhidullah dan hanya mutaba’ah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Sedangkan makna subul, dikatakan oleh Mujahid:

“Subul adalah berbagai bid’ah dan syubhat.”[6]

Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk tetap bersatu dalam jama’ah kaum Muslimin dengan berpegang kepada Al-Qur`an dan berada di atas shirathal mustaqim, yaitu di atas tauhidullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, meninggalkan asas-asas tersebut merupakan penyebab perpecahan dan merusak persatuan.

Misalnya:

1. Menyelisihi Al-Qur`an adalah perselisihan dan perpecahan setelah tegaknya hujjah atas mereka. Dan ini adalah perpecahan umat terdahulu yang telah Allah cela. Allah Azza wa Jalla melarang umat ini untuk berpecah dan berselisih seperti mereka.

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ﴿ال عمران:١٠٥﴾

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang keterangan (hujjah) kepada mereka.” (Ali Imran: 105)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

Allah Tabaraka wa Ta’ala melarang umat ini untuk menjadi seperti umat-umat tedahulu (dalam) perpecahan dan perselisihan mereka, serta ditinggalkannya amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka, padahal telah tegak hujjah atas mereka.[7]

Lihatlah ayat dan ucapan Ibnu Katsir di atas dan bandingkan dengan ucapan firqah-firqah hari ini yang menganjurkan untuk mengesampingkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan persatuan! Atau menyatakan agar kita tidak berbicara tentang syirik dan bid’ah karena mereka menganggap ini adalah perkara ilmu masail yang tidak perlu dibicarakan kecuali oleh para kiai di daerahnya masing-masing, dengan alasan agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan. Padahal, justru meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan penyebab terjadinya perpecahan. Dan itu berarti mereka telah membiarkan diri mereka berpecah-belah dan ridha dengan perpecahan tersebut.

Allah berfirman:

“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka sendiri, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar-Ruum: 31-32)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:[8]

“Bahkan jadilah kalian muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) yang mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya (Allah) dan tidak menginginkan dengan ibadahnya kecuali Dia.” 

Kemudian dia berkata:

“(memecah-belah agamanya) yaitu mengganti-ganti dan merubah-rubahnya (yaitu melakukan bid’ah) serta beriman kepada sebagian (syariat agama) tapi kufur (ingkar) pada sebagian yang lain.” 

Bahkan beliau menambahkan:

“…dan umat ini pun (akan) berselisih. Di antara mereka ada yang menjadi aliran-aliran (sekte) yang seluruhnya sesat kecuali satu, yaitu: Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah-lah yang berpegang dengan Al-Kitab dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang ada pada generasi pertama (Salaf) dari para shahabat, tabi’in, dan para imam-imam kaum Muslimin (yang mengikuti mereka) dulu maupun sekarang.”

2. Keluar dari shirathal mustaqim berarti juga memecah-belah dien dan menyebabkan tafarruq. Allah berfirman:

وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴿الأنعام: ١٥٣﴾

“Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, niscaya kalian akan bercerai-berai dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)

Penjelasan tentang ayat ini terdapat dalam riwayat yang shahih dalam musnad Ahmad dan lainnya dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu[9], yaitu setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan garis-garis di kanan dan kiri dari garis yang lurus, beliau bersabda:

“…dan ini adalah as-subul (jalan-jalan), tidak ada satu jalan pun daripadanya kecuali ada syetan yang mengajak kepadanya…” (HR. Ahmad, Nasai, Darimi, dan Hakim)

Mujahid menjelaskan bahwa pengertian subul yang didakwahkan oleh syetan di sini adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat. Oleh sebab itu, ketika jalan ini diikuti oleh kaum Muslimin maka mereka menjadi terpecah ke dalam berbagai firqah dan aliran.

Contoh firqah yang pertama keluar dari jalan Shirathal Mustaqim karena mengikuti pemahaman bid’ah adalah Khawarij. Kemudian muncul aliran bid’ah lain yaitu Syi’ah dan diikuti selanjutnya oleh Qodariyah, Jabariyah, Murji`ah, Sufiyah, dan lain sebagainya. Dan terus akan berpecah sampai menjadi tujuh puluh tiga golongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“… Umat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dll. dan diHASANkan oleh Ibnu Hajar)[10] dan dalam riwayat lain: “Siapa saja yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” (HR. Tirmidzi, diHASANkan oleh Syaikh Al-Albani)[11]


Perintah Allah dan Rasul-Nya ketika Terjadi Perpecahan

Tentunya tidak ada pertentangan antara perintah untuk bersatu dalam Al-Jama’ah dan berita tentang akan berpecahnya umat ini, sebagaimana tidak ada pertentangan antara berita tentang qadha dan qadar dengan perintah untuk berusaha. Maka, kaum Muslimin diperintahkan untuk berusaha agar tetap bersatu di dalam Al-Jama’ah yaitu berjalan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya (shirathal mustaqim). Dan tatkala terjadi perpecahan, mereka diperintahkan untuk kembali dan mengembalikan kaum Muslimin ke jalan yang lurus (shirathal mustaqim) yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.

Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ ﴿النساء: ٥٩﴾

“Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (An-Nisa`: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Habsyi. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam masalah agama). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”  (HR. Nasai dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH)[12]

Dengan satu ayat dan hadits di atas, sudah cukup jelas bahwa sikap kita ketika menghadapi perpecahan umat bukan berfikir untuk mempersatukan mereka dengan manhaj yang berbeda-beda atau aliran yang berbeda-beda, tapi sikap kita adalah bagaimana kita kembali dan mengembalikan kaum Muslimin kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para shahabatnya, khususnya para khulafa`ur rasyidin (khalifah-khalifah) yang lurus dan mendapatkan petunjuk, serta para ulama pengikut mereka dulu maupun sekarang. Dengan kata lain, kembalilah dan kembalikanlah kaum Muslimin kepada Al-Haq yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya, serta para imam/ulama Salaf berada di atasnya.

Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Semuanya (firqah-firqah) dalam neraka kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah, yang aku dan para shahabatku ada di atasnya.”

Tentunya untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat adalah melalui para ulama khususnya Ahlul Hadits dari kalangan mereka.

Imam Bukhari rahimahullah memberi satu judul bab (dalam Shahihnya) dengan ucapan: Bab “Demikianlah kami jadikan kalian umat yang satu. Dan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beriltizam (berpegang) pada Al-Jama’ah yaitu para ulama.”[13]

Demikian pula Imam Syatibi rahimahullah dalam kitabnya Al-I’tisham II/886 mengatakan dengan ucapan yang hampir sama bahwa Al-Jama’ah adalah para ulama. Kemudian dia berkata:

“Sedangkan selain mereka (para ulama) termasuk dalam golongan tersebut, jika mereka mengikuti dan mengambil teladan dari para ulama tersebut.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menambahkan:

“Al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan Al-Haq walaupun engkau sendirian.”

Maka, kembalilah dan kembalikanlah kaum Muslimin kepada Al-Jama’ah yaitu para ulama khususnya para ahlul hadits yang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih untuk menjaga persatuan umat dengan ikhlas karena Allah semata.

Sebaliknya, jangan menjauhi para ulama tersebut dan menjauhkan kaum Muslimin dari mereka, karena itulah titik awal perpecahan umat. Dan, mari kita hidupkan As-Sunnah dan bangkitkan semangat amar ma’ruf nahi munkar, karena ini merupakan upaya menjaga persatuan umat. Dan sebaliknya, mematikan As-Sunnah dan melemahkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan gejala perpecahan umat.

Allahu Ta’ala a’lam.

Nota:
[1] Baca kitab Al-Qaul Al-Baligh oleh Syaikh Humud at-Tuwaijiri hal. 199
[2] Lihat kitab Da’watul Ikhwan oleh Farid bin Ahmad Al-Tsubait hal. 63 & 107
[3] Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal. 417
[4] ibid juz 2 hal. 213
[5] Lihat Fathul Majid hal. 23-24 oleh Syeikh Abdurrahman Al-Syeikh
[6] Tafsir Thabari Juz 5 hal. 396-397
[7] Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal. 419
[8] Ibid juz 3 hal. 477
[9] Lihat Minhaj Firqah Najiyah hal. 7 oleh Syaikh Jamil Zainu dan mengatakan riwayat tersebut SHAHIH. Lihat pula riwayat-riwayat yang semakna dalam Tafsir Ibnu Katsir II/213
[10] Sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Jamil Zainu dalam kitab Firqah Najiyah hal. 7
[11] ibid
[12] ibid
[13] Lihat Fathul Bari juz 15 hal. 254


Sumber: Majalah Salafy/Edisi II/Ramadhan/1416/1996 rubrik Mabhats
SUMBER URL : http://sunniy.wordpress.com/2007/08/24/makna-persatuan-dan-perpecahan/

Ulasan