Rusaknya Manhaj Al-Muwazanah

Oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair Al Madkhali

Pendapat yang menyatakan wajibnya bersikap obyektif dalam mengkritik ahlul bathil akan mengantarkan pada kerusakan yang fatal dan sangat berbahaya.

Yang terpenting di antaranya:
1. Menganggap bodoh ulama salaf.
2. Menuduh mereka berbuat zalim dan maksiat.
3. Mengagungkan kebid’ahan dan ahli bid’ah, serta melecehkan para ulama salaf atas sunnah dan al-haq yang ada pada mereka.

1. Menganggap Bodoh Ulama Salaf

Andai manhaj ini memiliki kedudukan di dalam Islam, sungguh anda akan saksikan salafush shalih adalah umat yang paling berpegang teguh dengannya dan yang paling gigih menerapkannya dalam semua ucapan mereka, baik kepada kerabat dekat maupun jauh dan teman ataupun musuh. Sungguh mereka akan menyusun kitab-kitab dan berucap atas dasar timbangan ini, terhadap hak-hak individu atau kelompok, dan terhadap makalah-makalah serta karya-karya tulis.

Bagaimana tidak? Mereka adalah manusia yang paling istiqomah dengan agama ini. Mereka adalah pemimpin tertinggi di tengah-tengah umat, paling baik dan paling tinggi kejujurannya, paling bertaqwa, paling wara’, dan paling konsisten menegakkan keadilan. Semua itu telah disaksikan oleh kenyataan sejarah, Amaliah, jihad, dan nasihat mereka hanyalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya , para pemimpin kaum muslimin dan rakyat mereka. Telah bersaksi untuk itu para sahabat yang mulia, puncak dari pemimpin umat ini. Mereka tegakkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, berjihad dalam membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menegakkan keadilan di dunia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala buka melalui tangan-tangan mereka.

Dan Rasulullah sholallahu alaihi wasallam mempersaksikan untuk generasi setelah mereka dalam sabda Beliau:

“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka, kemudian, kemudian datang setelah mereka kaum yang bersaksi sebelum dimintai untuk bersaksi, dan tampak di tengah-tengah mereka kegemukan(HR. Bukhari 2651, Muslim 2535)

Kemudian ahlul hadits dan ulama al-jarh wat ta’dil mempersaksikan untuk para perawi, tidak akan diterima jarh dan ta’dil terhadap semua kelompok umat ini kecuali dari mereka, merekalah para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi.

Rasulullah sholallahu alaihi wasallam mempersaksikan untuk mereka dalam sabdanya:

“Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tampak di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang yang mencerca mereka dan tidak pula orang yang menyelisihi mereka sampai datangnya perintah Allah. (HR. Bukhari 3641, Muslim 1037)

Mereka adalah orang-orang yang senantiasa di atas kebenaran, kejujuran dan keadilan, melakukan perlawanan kepada ahli kekufuran, orang-orang yang menyimpang lagi sesat dengan hujjah dan kebenaran. Terkadang mereka pun bangkit menghadangnya dengan pedang dan tombak. Maka firqah-firqah kekufuran itu tidak akan mampu menandingi hujjah dan dalil mereka, demikian pula seluruh firqah-firqah sesat yang ada tidak akan mampu menghadapkan wajah-wajah mereka dengan hujjah dan dalil. Yang mereka lakukan hanyalah teriakan, kedustaan fitnah, tikaman dan berbagai macam kemaksiatan terhadap ahlul haq.


2. Menuduh Para Ulama Salaf Berbuat Zalim dan Maksiat

Sungguh lisan-lisan dan tulisan mereka penuh dengan tikaman dan celaan murni yang kosong dari sikap obyektif (sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan). Maka, apa yang pantas dikatakan terhadap mereka yang demikian ini, yang bertentangan dengan manhaj mereka sendiri.

Hanya ada dua kemungkinan;

Bisa jadi kita katakan bahwa kritik dan jarh para ulama tanpa menyebut kebaikan-kebaikan itu ditegakkan di atas kebenaran, keadilan, nasihat, ilmu, wara’ dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala selaku Penguasa Alam Semesta, dalam rangka menjaga agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Mereka adalah para penegak keadilan. Manhaj mereka berdiri di atas kebenaran, di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, selaras dengan kaidah-kaidah Islam dan akidah yang benar. Maka ini menggugurkan mazhab ahlul bid’ah dan pembuat perkara baru yaitu:

Mazhab wajibnya menimbang antara kebaikan dan kejelekan.

Atau kita katakan:

Bahwa kritik mereka yang tanpa menyebutkan kebaikan dan hanya mencukupkan diri dengan jarh dan kejelekan, menunjukkan bahwa kritik itu ditegakkan di atas kezaliman dan kemaksiatan, dan manhaj mereka dibangun di atas penipuan, kejahilan, tidak adanya sikap wara’ dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan keadilan, dan jauh dari pokok dasar keislaman dan kaidah-kaidah yang prinsipil, maka dengan ini mereka menjadi makhluk yang paling zalim, dan paling jauh dari keadilan.

Namun ini tidak akan terjadi, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kaum mukminin menolak hal itu. Maka gugurlah kebatilan! Sirnalah pengakuan-pengakuan kosong! Dan apa yang mereka katakan tentang “Wajibnya menimbang kebaikan dan kejelekan ketika mengkritik ahlul bid’ah dan orang-orang sesat” tidak berlaku!

Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, mereka tidaklah beragama dengan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan pendapat yang pertama, berloyalitas kepada ulama salaf dan manhaj mereka dalam mengkritik. Semua itu ditegakkan di atas kebenaran, keadilan, obyektivitas dan nasihat ...

Dan manhaj buatan -yang bertolak belakang dengan manhaj salaf- akan mengantar para penganutnya untuk terseret pada perbuatan mencerca para ulama salaf dan manhaj mereka, serta mengakibatkan cacatnya persaksian, jarh dan ta’dil mereka. Sangat disayangkan, mereka memegang teguh pendapat bid’ah ini sehingga mendatangkan bencana sebagaimana telah kami sebutkan.

Mereka tidak menerapkan muwazanah ini kepada ahli sunnah yang hidup di masa sekarang dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj salaf yang mulia. Bahkan menuduh mereka dengan keburukan dan kejahatan, dengan kezaliman dan permusuhan, serta menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi. Semua itu mereka lakukan dalam rangka membela dan menolong ahlul bid’ah. Maka kaum yang patut dikasihani ini terjebak ke dalam lumpur yang mengeluarkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengeluarkan mereka dari manhaj salaf, secara sadar atau tidak. Mereka tercebur ke dalam lumpur dakwah yang menyeru kepada kebatilan dan bid’ah, merasa atau tidak.


3. Mengagungkan Ahlul Bid’ah

Ini adalah perkara yang sangat jelas bagi penganut manhaj al-muwazanah yang menyuarakan untuk menimbang antara kebaikan dan kejelekan. Bagaimana tidak? Untuk itulah manhaj ini dibangun.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang menilai amalan ulama salaf dari sudut pandang manhaj al-muwazanah, dan menghukumi manusia berdasarkan manhaj tersebut, serius dan bersungguh-sungguh melakukannya, maka dia pasti melecehkan ulama salaf dan manhaj, hukum, dan tulisan-tulisan mereka.


Demikianlah ketetapan syariat yang bijaksana, manthiq yang benar, serta akal yang unggul. Tidak ada tempat lari dari apa yang telah kami tetapkan.

Maka saya melihat permasalahan ini adalah perkara yang mengkhawatirkan dan berbahaya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dalam agama ini bagi para ulama untuk senantiasa waspada dengan ancaman bahaya yang menghancurkan agama ini, yang meluluhlantakkan apa yang telah dibangun ulama Islam di medan al-jarh wat ta’dil -medan pembelaan terhadap sunnah dan dakwah kepada sunnah, serta penghinaan terhadap bid’ah dan peringatan terhadap umat akan bahaya bid’ah dan ahli bid’ah- melalui tulisan-tulisan mereka dalam masalah aqidah dan pembelaan terhadap sunnah.


(Al-Mahajjatu al-Baidha’u fi Himayati as-Sunnati al-Gharra’i min Zallati Ahli al-Akhtha’i wa Zaighi Ahli al-Ahwaa’i. Karya Syaikh Rabi’ bin Hadi ’Umair Al-Madkhali, hal 61-66)

Sumber: http://al-madiuny.blogspot.com/2012_03_01_archive.html

Ulasan