Benarkah Tidak Boleh Membantah Orang Yang Mengajarkan Manhaj Salaf?

(Jawaban Telak Terhadap Syubhat & Tipu Daya Jafar Salih-Halabiyun)

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد:

Termasuk yang menyebar di masa ini ketika membicarakan orang yang menyimpang engkau mendengar ada yang mengatakan: “Orang ini prinsip-prinsip pokoknya adalah salafiyah.” Demikian digunakan untuk menolak jarh para ulama terhadapnya.

Saya memiliki beberapa catatan terhadap ucapan ini:

Pertama: Orang yang mengatakan ucapan ini perlu ditanya: Apa yang dimaksud prinsip-prinsip pokok salafiyah itu? Berapa jumlahnya dan bagaimana cara mengetahuinya? Apakah orang yang dia sifati itu dia konskwen dengan prinsip-prinsip ini?

Al-Barbahary rahimahullah berkata di dalam Syarhus Sunnah:

“Tidak halal bagi seseorang untuk mengatakan ‘Fulan Ahlus Sunnah’ sampai dia mengetahui bahwa pada orang tersebut terkumpul sifat-sifat As-Sunnah. Maksudnya: tidak boleh si fulan dikatakan sebagai Ahlus Sunnah sampai padanya terkumpul As-Sunnah semuanya.”

Mayoritas orang yang memutlakkan ucapan ini tidak mengerti apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pokok salafiyah. Bagaimana cara mengetahui dan cara berdalil dengannya.


Kedua: Telah tetap dari sejumlah ulama Ahlus Sunnah mereka mentabdi’ dengan sebab perkara yang sebagian ikhwah menganggapnya sebagai perkara furu’.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Fathul Bary 5/166:

“Al-Imam Ahmad pernah ditanya: “Di kalangan kami ada orang-orang yang menyuruh mengangkat tangan ketika shalat dan ada yang melarang, bagaimana sikap kami?” Beliau menjawab: “Tidak ada yang melarangmu kecuali mubtadi’, karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam melakukan hal itu dan Ibnu Umar dahulu melempari orang yang tidak mengangkat tangannya ketika shalat dengan kerikil.” Jadi beliau tidak mentabdi’ kecuali orang yang melarangnya dan menganggapnya makruh. Adapun orang yang melakukan ta’wil ketika meninggalkannya tanpa melarangnya maka beliau tidak mentabdi’nya.”

Saya katakan: Masalah mengangkat tangan ketika shalat sebelum ruku’ dan setelahnya adalah masalah furu’, walaupun demikian Al-Imam Ahmad mentabdi’ orang yang melarangnya karena itu merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa 13/361:

مَنْ عَدَلَ عَنْ مَذَاهِبِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَفْسِيرِهِمْ إلَى مَا يُخَالِفُ ذَلِكَ كَانَ مُخْطِئًا فِي ذَلِكَ بَلْ مُبْتَدِعًا وَإِنْ كَانَ مُجْتَهِدًا مَغْفُورًا لَهُ خَطَؤُهُ.

“Siapa yang berpaling dari madzhab Shahabat dan Tabi’in serta berpaling dari tafsir mereka kepada hal-hal yang menyelisihinya, maka dia salah dalam hal tersebut, bahkan dia menjadi mubtadi’ walaupun dia seorang mujtahid yang jika berijtihad pada perkara-perkara yang jika salah akan diampuni kesalahannya.”

Saya katakan: Tidak diragukan lagi bahwa yang beliau maksud bukan berarti mereka menyelisihi pada semua tafsir, yang beliau maksud hanyalah penyelisihan mereka pada masalah tertentu saja. Dan perkataan Syaikhul Islam ini mencakup orang yang prinsip-prinsip pokoknya salafiyah seperti yang dikatakan pada masa ini, dan juga yang keadaannya tidak seperti itu.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa 24/172:

وَرُبَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُمْ فِي الْمَسْأَلَةِ الْعِلْمِيَّةِ وَالْعَمَلِيَّةِ مَعَ بَقَاءِ الْأُلْفَةِ وَالْعِصْمَةِ وَأُخُوَّةِ الدِّينِ. نَعَمْ مَنْ خَالَفَ الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَالسُّنَّةَ الْمُسْتَفِيضَةَ أَوْ مَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ خِلَافًا لَا يُعْذَرُ فِيهِ فَهَذَا يُعَامَلُ بِمَا يُعَامَلُ بِهِ أَهْلُ الْبِدَعِ.

“Terkadang pendapat mereka berbeda pada masalah ilmiyah dan amaliyah namun tetap menjaga kecintaan, saling menjaga kehormatan pihak lain dan tetap menjaga persaudaraan karena agama. Memang, siapa saja yang menyelisihi Al-Kitab yang jelas dan As-Sunnah masyhur atau apa menjadi kesepakatan salaf, maka dia tidak diterima alasannya dan dia disikapi seperti menyikapi ahli bid’ah.”

Ini mencakup masalah-masalah ushul dan furu’.


Ketiga: Termasuk perkara yang menjadi konsesus di masa salaf adalah siapa saja yang membela ahli bid’ah maka dia dihukumi dan digabungkan dengan mereka, walaupun prinsip-prinsip pokok yang dia yakini adalah salafiyah.

Ibnu Abi Ya’la berkata di dalam Thabaqat Al-Hanabilah 1/160:

أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ الْهَاشِمِيُّ قِرَاءَةً قَالَ: أَخْبَرَنَا الدَّارَقُطْنِيُّ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ إِسْمَاعِيل بْنِ بَكْرٍ السُّكْرِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا دَاوُدَ السِّجِسْتَانِيَّ يَقُوْلُ: قُلْتُ لِأِبِيْ عَبْدِ اللهِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: أَرَى رَجُلاً مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ مَعَ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ أَتْرُكُ كَلَامَهُ قَالَ: لَا أَوْ تُعْلِمُهُ أَنَّ الرَّجُلَ الَّذِيْ رَأَيْتَهُ مَعَهُ صَاحِبُ بِدْعَةٍ فَإِنْ تَرَكَ كَلامَهُ فَكَلِّمْهُ وَإِلَّا فَأَلْحِقْهُ بِهِ.

“Telah mengabarkan kepada kami Abdush Shamad Al-Hasyimy dengan membaca, dia berkata: Ad-Daruquthny mengabarkan kepada kami: telah mengabarkan kepada kami Utsman bin Isma’il bin Bakr As-Sukry dia berkata: saya mendengar Abu Dawud As-Sijistany berkata: saya berkata kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal: “Saya melihat seorang Ahlus Sunnah bersama seorang ahli bid’ah, apakah saya harus tidak mengajaknya berbicara?” Beliau menjawab: “Tidakkah engkau beritahu dia bahwa orang yang engkau lihat bersamanya adalah ahli bid’ah, kalau dia meninggalkannya maka ajaklah dia berbicara, kalau tidak maka gabungkanlah dia dengan ahli bid’ah tersebut.”

Lalu bagaimana dengan orang yang membela ahli bid’ah dan masih menganggapnya sebagai Ahlus Sunnah serta membuat kaedah-kaedah rusak untuk membelanya.

Ibnu Baththah berkata di dalam Asy-Syarh wal Ibanah hal. 309:

وَمِنْ السُّنَّةِ مُجَانَبَةُ كُلِّ مَنْ اعْتَقَدَ شَيْئاً مِمَّا ذَكَرْنَاهُ، وَهِجْرَانُهُ وَالْمَقْتُ لَهُ، وَهِجْرَانُ مَنْ وَالَاهُ، وَنَصَرَهَ وَذَبَّ عَنْهُ وَصَاحَبَهُ، وَإِنْ كَانَ الْفَاعِلُ لِذَلِكَ يُظْهِرُ السُّنَّةَ.

“Dan termasuk bimbingan As-Sunnah adalah menjauhi siapa saja yang meyakini sedikit saja dari bid’ah-bid’ah yang telah kami sebutkan, memboikotnya, membencinya dan memboikot siapa saja yang berloyalitas kepadanya, menolongnya, membelanya dan bershahabat dengannya, walaupun orang yang melakukan semua itu menampakkan As-Sunnah.”

Perkataan beliau “Walaupun orang yang melakukan semua itu menampakkan As-Sunnah” sama dengan ucapan manusia di masa ini “Prinsip-prinsip pokoknya adalah salafiyah.”

Syaikhul Islam rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa 15/286:

وَلِهَذَا كَانَ مُسْتَحِقًّا لِلْهَجْرِ إذَا أَعْلَنَ بِدْعَةً أَوْ مَعْصِيَةً أَوْ فُجُورًا أَوْ تَهَتُّكًا أَوْ مُخَالَطَةً لِمَنْ هَذَا حَالُهُ بِحَيْثُ لَا يُبَالِي بِطَعْنِ النَّاسِ عَلَيْهِ.

“Oleh karena inilah dia berhak diboikot jika dia terang-terangan menampakkan bid’ah atau maksiat atau dosa atau merusak kehormatan atau bergaul dengan orang yang seperti ini keadaannya di mana dia tidak mempedulikan celaan manusia kepadanya.”

Perkataan Syaikhul Islam ini tentang orang yang bergaul saja, lalu bagaimana dengan orang yang membela dan menyakiti Ahlus Sunnah demi orang tersebut.

Bahkan para ulama dahulu mereka mencela siapa saja yang tidak memvonis ahli bid’ah dengan vonis para ulama, walaupun dia menyalahkan ahli bid’ah tersebut.

Abu Bakr bin Abdul Khaliq berkata di dalam Zawaidul Wara’ hal. 89:

“Saya bertanya kepada Abdul Wahhab Al-Warraq tentang orang yang tidak mengkafirkan Jahmiyah: ‘Wahai Abul Hasan, bolehkah shalat di belakangnya?’ Beliau menjawab: “Tidak boleh shalat di belakangnya, karena dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan serta dicurigai keislamannya.”

Beliau juga berkata:

“Saya bertanya kepada Abdul Wahhab: ‘Bolehkah duduk bermajelis dengan orang yang tidak mengkafirkan Jahmiyah?’ Beliau menjawab: “Jangan bermajelis dan jangan berbicara dengannya, karena seseorang itu dinilai dari agama temannya.”


Keempat: Sesungguhnya pihak yang dijarh ini jika dia adalah orang yang ikhlash dalam menerapkan prinsip-prinsip pokok salafiyah, ketika dia terjatuh pada hal-hal yang menyelisihi kebenaran yang menyebabkan para ulama menjarhnya, seandainya hal itu terjadi tanpa kesengajaan atau karena ijtihad, maka ketika pertama kali dinasehati prinsip-prinsip salafiyah itu akan segera mengembalikannya kepada jalan yang benar.

Juga dikatakan bahwa kaedah terhadap pihak yang dijarh oleh para ulama yang diakui keilmuannya yang jarhnya bersifat global padahal asalnya orang itu dita’dil, adalah dengan tidak bersikap hingga meneliti jarhnya, tidak dengan langsung menolak jarh, atau sebagian mereka ada yang berusaha memilih sebab jarh kemudian berusaha menolaknya.

Al-Mu’allimy berkata di dalam At-Tankil 1/61: “Yang benar setelah meneliti di dalam masalah ini adalah bahwasanya jarh yang sifatnya global adalah diterima sebagai jarh selama orang yang dijarh tersebut tidak ada yang menta’dilnya baik dengan ucapan atau secara hukum, adapun jika dia dita’dil maka hal itu mengharuskan untuk tidak bersikap hingga meneliti sebab-sebab yang berkonskwensi menolak atau menerimanya.”

Lalu bagaimana dengan orang yang telah dijarh oleh para ulama dengan jarh yang terperinci dan dikuatkan oleh yang lain, dan sebelum para ulama menjarhnya telah ada sekelompok penuntut ilmu yang membantah kebodohan dan kengawuran orang tersebut. Dan barangsiapa belum menentukan sikap maka tidak boleh baginya untuk membela orang yang dijarh tersebut, karena ini bukan keadaan orang yang belum menentukan sikap (tawaqquf).


Kelima: Cara ini yang digunakan untuk membela sebagian orang-orang yang telah dijarh, bisa digunakan juga oleh hizbiyun.

Seorang Qutbby atau Surury atau Haddady bisa juga mengatakan: “Prinsip-prinsip yang kuyakini adalah salafiyah.”

Demikianlah, semua kaedah yang dibuat oleh orang-orang yang lembek untuk membela masayikh mereka, dimanfaatkan oleh hizbiyun dan Quthbiyun.

Bahkan kaedah ini asalnya diambil dari Quthbiyun. Buktinya adalah ucapan Hamid Al-Aly di dalam kitabnya yang berjudul Dhawabith Allati Yanbaghi Taqdimuha Qablal Hukmi Alal Asykhash:

“Adapun jika seseorang sepakat dengan Ahlus Sunnah pada keyakinan mereka secara global, lalu dia tergelincir pada sebuah masalah yang bukan termasuk ushul akidah, yang dalam masalah ini dia mengikuti pendapat sekelompok ahli bid’ah, maka dia tidak keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Telah berlalu bantahan terhadap ucapan ini.


Keenam: Ulama salaf dahulu mentabdi’orang-orang yang tidak menentukan keyakinannya terhadap Al-Qur’an dan orang-orang yang menyatakan bahwa lafazh orang yang membaca Al-Qur’an adalah makhluk, padahal sebagian mereka ada para ahli hadits dan pakar ilal hadits seperti Ya’qub bin Syaibah.

Al-Allamah Rabi’ Al-Madkhaly berkata di dalam kitabnya yang berharga yang berjudul Bayanul Khalal wal Ikhlal Al-Waqi’aini Fii Nashihati Ibrahim Ar-Ruhaily hal. 81:

“Ulama Salaf telah mentabdi’ sejumlah ulama yang dahulunya mereka adalah tokoh Ahlus Sunnah disebabkan ucapan mereka: “Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Padahal mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Allah dan mereka juga menyelisihi ahli bid’ah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Padahal ucapan ini adalah masalah ini bersifat juziyyah (bukan pokok –pent) sebagaimana yang engkau lihat.”

Al-Khallal berkata di dalam kitab As-Sunnah no. 2109 (juz 7 hal. 72 cet. Daarur Raayah –pent):

سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ الْمَرُّوْذِيَّ يَقُوْلُ: أَتَيْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَقَالَ لِيْ: يَا أَبَا بَكْرٍ، بَلَغَنِيْ أَنَ نُعَيْماً كَانَ يَقُوْلُ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوق، فَإِنْ كَانَ قَالَهُ فَلَا غَفَرَ اللهُ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ.

“Saya mendengar Abu Bakr Al-Marrudzy berkata: Saya mendatangi Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal –pent) pada tengah malam, maka beliau berkata: “Wahai Abu Bakr, telah sampai berita kepada bahwa Nu’aim (bin Hammad –pent) mengatakan: “Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Jika benar dia mengatakan hal itu maka Allah tidak akan mengampuninya di alam kubur.”

Riwayat dari Nu’aim ini tidak shahih, tetapi perhatikan perkataan Al-Imam Ahmad: “Jika benar dia mengatakan hal itu maka Allah tidak akan mengampuninya di alam kubur.”

Nu’aim akidahnya adalah salafiyah, bahkan beliau salah satu imam Ahlus Sunnah dan beliau wafat di penjara Jahmiyah.

هذا وصل اللهم على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Sumber: Al-Baidha•Net

Ulasan