[Bgn. 1] Sikap Ahlussunnah dalam Tahdzir dan Ghibah atas Ahli Bid‘ah

Banyak ditemukan dalam beberapa karya para ulama dan pernyataan mereka baik dahulu baik sekarang ungkapan yang berbunyi, tidak ada ghibah buat ahli bid’ah. Namun setelah dirinci, maksudnya adalah landasan dalam menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya.

Dalam mendudukan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah, hendaknya berangkat dari dalil-dalil yang shahih dan pernyatan ulama salaf, juga sikap itu bisa dibenarkan oleh kaidah dasar syariat. Apalagi sikap di atas termasuk lanjutan dari sikap kebencian terhadap ahli bid’ah yang tampak secara lahiriyah

Masalah ini akan di bahas dalam dua bahasan di bawah ini:

Masalah pertama:

Maksud dari ungkapan di atas adalah penjelasan tentang hukum menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya. Setelah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-sunnah serta pernyataan para ulama, ditemukan keputusan secara jelas bahwa:

“Bahwa boleh menghujat dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk menasihati umat, agar mereka tidak terpengaruhi mereka“.

Dalil-dalil yang mendukung ketetapan itu banyak sekali, namun saya batasi menjadi dua bagian:

Pertama: Dalil secara umum tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” [Ali Imran: 104]

Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan:

“Allah Ta’ala menghendaki agar dari segolongan umat ada yang peduli masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Meskipun demikian, setiap umat tetap memiliki tanggung jawab masalah tersebut, sesuai kadar kemampuan masing-masing, berdasarkan hadist dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya’.” [Tafsir Ibnu Katsir 1/290]

Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa baik tidaknya umat tergantung pada penegakan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Ali Imran: 110]

Menurut Mujahid:

“Umat Islam akan tetap bisa menyabet predikat umat terbaik asal memenuhi syarat di atas.”

Sedangkan menurut Imam Asy-Syaukani:

“Ayat di atas berstatus hal yang berarti predikat umat terbaik sangat terkait dengan kemauan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar.” [Tafsir Fath Al-Qadir, Asy Syaukani 1/371]

Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan, saya mendengar Rasalullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Demikian itu selemah-lemah iman.” [HR Muslim]

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh beramar ma’ruf dan nahi mungkar dengan tiga tingkatan sesuai kadar kemampuan masing-masing.

Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, nabi bersabda:

“Tiada seorang nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelumku, melainkan ada diantara umatnya yang menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki keimanan sebiji sawipun.” [HR Muslim]

Ijma’ juga menyatakan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dikatakan Imam an Nawawi:

“Antara Al-Quran, As Sunnah dan Ijma telah selaras dalam membuat pernyataan wajibnya amar ma’ruf dan anhi munkar. Sebab hal itu, bagian dari nasihat dalam agama dan tidak ada yang menyangkal manhaj tersebut, kecuali sebagian Rafidhah.” [Syarh Shahih Muslim, 1/22]

Jika kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar telah menjadi ketetapan baku, sementara bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengajak orang kembali kepada As-Sunnah, memperingatkan mereka dari bahaya bid’ah, membongkar keburukan ahli bid’ah menghujat mereka karena penyelewengan dari manhaj yang benar dan mengikuti hawa nafsu sehingga terjerumus dalam kerusakan, kebid’ahan, kesesatan dan penyelewengan dalam agama, agar semua manusia tahu dan menjauhi mereka.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tahdzir merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap ahli bid’ah. Ia berkata:

“Orang yang mengajak kepada bid’ah, berhak mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman mati seperti hukuman mati yang telah diterapkan pada Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari dan yang lainnya. Andaikata (pelakunya, red) tidak mungkin dijatuhi sanksi, namun kebid’ahan harus tetap dijelaskan kepada umat. Sebab hal itu, bagian dari dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.” [Majmu’ Fatawa, 35/414]

Dengan demikian, mengungkap kebid’ahan dan menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada semua orang, merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan dalil yang shahih.


Kedua: Dalil secara khusus yang menganjurkan untuk membongkar dan memjelaskan bahaya ahli bid’ah kepada semua umat, antara lain:

Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An Nisa’:148]

Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Mujahid:

“Ada salah seseorang bertamu lalu tidak mendapat hak tamu secara layak. Setelah keluar dari rumah orang tersebut, dia berkata kepada orang-orang, ‘Saya bertamu ke rumah si Fulan, tapi bsaya tidak mendapat hak tamu secara layak.’Beliau berkata, “Ini adalah ucapan buruk yang disampaikan dengan terus terang kecuali oleh orang yang teraniaya hingga yang lain memberikan hak tamu kepadanya.” [Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, hal. 571]

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan secara tegas, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat di atas (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal 230). Apabila terus terang mengucapkan ucapan buruk untuk membela diri diperbolehkan, maka untuk membela agama Allah Ta’ala dari perusak dan pengacau agama, lebih utama dan sangat dianjurkan, agar mereka tidak menebar fitnah bid’ah di kalangan umat.

Dalil dari Sunnah antara lain hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:

“Ada orang yang meminta izin untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan beliau bersabda, “Izinkanlah dia, sungguh dia adalah seburuk–buruk saudara atau teman bergaul. Ketika orang tersebut masuk, beliau bertutur kata manis. Lalu saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ucapan seperti itu, kemudian tiba-tiba engkau bertutur kata manis di depannya, ‘Beliau menjawab, ‘Hai Aisyah, sejelek-jelek orang adalah orang yang dijauhi karena takut kejahatannya.” [HR. AL-Bukhari dalam kitab Al-Adab dan Muslim dalam kitab Al-Birr]

Imam An-Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi:

“Orang yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah Al-Fazari atau Abu Malik. Ketika itu, ia belum masuk Islam, walaupun telah menampakkan keislaman. Nabi ingin menjelaskan perangainya agar semua orang mengerti dan tidak terkecoh, juga sebagai bukti perangai buruk pada masa Nabi masih hidup. Setelah beliau wafat, dia murtad bersama kelompok orang-orang murtad, yang kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, sehingga pernyataan beliau di atas sebagai tanda kenabian. Adapun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap bersikap lemah lembut dan bertutur kata manis, dalam rangka membujuk hatinya agar tertarik dengan Islam. Hadits di atas menjadi dalil diperbolehkan basi-basi untuk menghindar dari kejahatannya dan menggunjing orang fasik yang menampakkan kefasikannya.” [Syarh Shahih Muslim, vol.16 hal. 144]

Aisyah berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Saya tidak menyangka kalau dua orang itu mengerti sedikit pun tentang agama itu?” Laits salah seorang perawi hadits berkata, “Dua orang tersebut termasuk orang munafik.” [HR. Al-Bukhari]

Sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut sebagai bentuk tahdzir. Dan hukum itu bisa berlaku kepada siapa saja yang semisal dengan orang tersebut.

Menurut Ibnu Hajar, prasangka seperti itu bukan suatu yang dilarang, karena dalam rangka memberi tahdzir kepada kedua orang tersebut dan yang semisal dengan mereka. [Fath Al-Bari, vol. 10, hal. 486]

Begitu juga kisah Fatimah bin Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, ia minta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan miskin tidak punya harta” [HR. Muslim, kitab Ath-Thalaq]

Jika diperbolehkan mengungkap aib dua sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama umat secara umum.

Syaikhul Islam berkomentar tentang makna hadits di atas:

“Demikian bagian dari nasihat buat wanita tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas lebih lebih utama untuk diperbolehkan. [Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal. 230]

Menurut hemat saya, lebih utama lagi ketika berkaitan dengan kepentingan keagamaan umat seperti memperingatkan bahaya ahli bid’ah, bahkan lebih utama darui semua perkara di atas.

Membuka aib ahli bid’ah dikuatkan ulama salaf, al-Lalika’i meriwayatkan dari Ashim Al-Ahwal:

“Saya duduk di sampung Qatadah. Dalam obrolan dia menyebut-nyebut Amr bin Ubaid dalam majlisnya maka saya berkata, “Wahai Abu Khaththab, saya tidak ingin melihat ulama satu sama lain saling berselisih.“ Ia berkata, “Wahai Ahwal, bukanlah kamu tidak tahu bila seseorang membuat suatu bid’ah harus disebut-sebut agar diketahui orang.” [Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol.2, hal.738]

Dalam kitab As-Sunnah karya Al-Khalaal, Zaidah mengisahkan, aku berkata kepada Manshur:

“Wahai Abu Ithab ketika diantara kita berpuasa, boleh tidak mencela orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar?” Beliau berkata, “Jelaskan pemikirannya kepada semua orang dan mintalah sehat wal afiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Lihat As Sunnah, Al-Khallal, vol. 1, hal. 495, Al-Ibanah Ash-Shughra, hal. 163 dan Talbis Al-Iblis, hal. 17]

Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan kepada Asad bin Furaat berbunyi:

“Wahai saudaraku, yang menjadi pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah, dan menampakan aib ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat mereka, semoga Allah Ta’ala menghancurkan mereka lantaran kamu,dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli bid’ah. Dan semoga Allah Ta’ala menghinakan mereka, sehingga tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik, dan semoga masuk dalam amal kebaikan paling utama dari shalat, puasa, haji dan jihad manakah yang lebih baik daripada menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul.” [Lihat Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha, Ibnu Wadhdhah, hal. 6]

Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah menghujat Asy‘ari:

“Aku akan potong-potong kehormatan kalian, selagi nyawaku masih di kandung badan,

Aku akan menyerang hizbi kalian dengan syairku, hingga badanku di bungkus kain kafan,

Aku akan robek penutup aibmu, hingga sampai titik darah penghabisan,

Aku akan menulis kepada penduduk negri ini yang berisi hujatan kepada kalian, hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta keletihan,

Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian dengan hujjah –hujjahku, hingga kebodohan kalian tertutupi dengan pengetahuanku.”

[Lihat Nuniyah Al-Qathani, hal. 52]

Demikian itu pernyataan salaf yang terkenal taat beragam, bertaqwa zuhud dan wara. Mereka secara terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli bid’ah. Bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang sama.

Imam Al-Qarafi berkata:

“Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang nyata.” [Al-Faruq 4/207-208]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah, beliau berkata:

“Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya: “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah?” Beliau menjawab, ”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berari berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu.” [Majmu’ Fatawa 28/231-232]

Beliau menambahkan:

“Bila ahli bid’ah memiliki keyakinan atau cara ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, serta dikhawatirkan mereka menyesatkan orang. Maka boleh dijelaskan kesesatan mereka dan semua itu dilakukan penuh dengan keikhlasan dan mencari ridha Allah Ta’ala, bukan karena unsur permusuhan pribadi yang berkaitan dengan dunia seperti dengki, hasad atau berebut popularitas. Atau berbicara tentang keburukan mereka seakan-akan ikhlas, ternyata di dalam hati tersimpan kebencian pribadi, jelas ini adalah perbuatan setan.” [Majmu’ Fatawa 28/221]

Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaad Al-Ma’ad menyebutkan beberapa faidah perang Tabuk antara lain:

“Seorang muslim boleh menilai buruk kepada ahli bid’ah, bila dalam rangka membela Allah Ta’ala dan RasulNya. Seperti ahli hadits menilai buruk kepada para perawi hadits yang lemah atau ahli sunnah menilai buruk kepada ahli bid’ah, namun bukan untuk sekedar melampiaskan kepuasan pribadi.” [Zaad Al-Ma’ad 3/18]

Imam Asy-Syatibi menjelaskan masalah hukum membicarakan keburukan ahli bid’ah – Boleh menyebut-nyebut keburkan ahli bid’ah dan menjelaskan kebid’ahan mereka agar semua orang terhindar fitnah ucapan bid’ah dan bahayanya, sebagaimana yang dilakukan ulama salaf. [Al-I’tisham 1/176]

Beliau menambahkan:

“Tidak boleh membicarakan ahli bid’ah secara khusus kecuali dalam dua keadaan, dan saya cukup menyebutkan kedua saja yaitu: Jika firqah tersebut mengajak kepada kesesatan dan membuat orang awam dan orang yang tidak berilmu menjadi tergiur dan terpedaya dengan kebid’ahan mereka. Bahaya mereka terhadap umat seperti bahayanya iblis, mereka termasuk setan dari kalangan manusia. Oleh karena itu, harus disampaikan secara tegas, bahwa mereka ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada firqah bid’ah, asal didukung bukti kuat. Sebagaimana kisah ‘Ashim Ahwal dengan Qatadah di atas. Mereka perlu secara khusus menjelaskan bahaya mereka kepada masyarakat luas, mengingat bahaya mendiamkan mereka (tidak mencelanya, red) lebih besar, daripada membicarakan mereka. Kendatipun dikhawatirkan menciptakan permusuhan dan perpecahan.” [Al-I’tisham 2/228-229]

Dengan dalil-dalil dan pernyataan ulama salaf di atas, menjadi jelas bolehnya menghujat dan menjelaskan perangai ahli bid’ah secara khusus, agar semua orang selamat dari fitnah mereka. Bahkan suatu kewajiban yang paling wajib dan termasuk bagian dari jihad di jalan Allah yang lebih utama dari berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak. Ini ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: Sebagaimana penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa bahaya bid’ah langsung meracuni dan merusak hati umat Islam, sementara bahaya musuh perang hanya merusak perkampungan kaum muslimin. Maka berjihad melawan ahli bid’ah, lebih utama daripada berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak, meskipun keduanya tetap harus menjadi kewajiban setiap umat sepanjang zaman.

Kedua: Umat memahami akan bahaya perang fisik, sehingga mereka secara serentak bergerak bersama untuk melawan musuh. Berbeda dengan ahli bid’ah, tidak semua orang bisa memahami bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, jihad melawan ahli bid’ah lebih utama daripada jihad melawan musuh fisik, mengingat sedikit sekali yang mau berjihad melawan ahli bid’ah. Bahkan sebagian umat secara sadar atau tidak, ikut serta membantu ahli bid’ah dalam menebar kesesatan. Orang yang berjihad dalam keadaan seperti ini bagaikan memerangi musuh, (seperti keadaan) setelah pasukan banyak melarikan diri dari medan perang. Manakah pahala orang yang berperang bersama tentara yang kuat dengan tentara yang ditinggalkan lari oleh pasukan?

Ketiga: Berjihad melawan musuh fisik banyak orang yang siap, berbeda dengan jihad melawan ahli bid’ah, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para ulama yang istiqamah di atas As Sunnah. Lebih dari itu harus ada keberanian, hujjah yang kuat serta penguasaan manhaj dan pernyataan ulama’ salaf seputar masalah bid’ah, agar mampu merontokkan syubhat ahli bid’ah. Bagi pembaca buku sejarah bisa mengetahui kisah “Fitnah Al-Qur’an Makhluk” pada zaman pemerintahan Abbasiyah di masa khalifah Makmun. Bagaimana kegigihan dan ketegaran ulama Sunnah dalam menghadapi cobaan dan penyiksaan dahsyat, bahkan tidak ada yang mampu menghadapi cobaan itu melainkan Imam Ahmad, Imam Ahli Sunnah wal jama’ah dan sekelompok kecil dari ulama. Mereka secara tegas menyatakan bahwa Al-Quran Kalamullah bukan makhluk, membantah propaganda dengan dalil dan alasan-alasan yang lugas di bawah tekanan penyiksaan dan kebengisan pemimpin, serta ancaman cambuk dan pembunuhan.

Tidak banyak yang mampu menghadapi cobaan sebesar itu. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa menyatakan Al-Quran adalah makhluk. Ketika Imam Ahmad menghadapi siksaan cambuk, Bisyr bin Harits ditanya,”Wajib bagi kamu untuk berbicara.” Ia menjawab, ”Kalian ingin aku meraih kedudukan para Nabi? Itu tidak saya miliki, semoga Allah Ta’ala menjaga Ahmad bin Hambal dari arah depan dan belakangnya.” Hal senada diungkapkan Yahya bin Main, ”Manusia menginginkan aku seperti Imam Ahmad. Demi Allah Ta’ala aku tidak bisa seperti Imam Ahmad, dan tidak bisa menempuh jalan Ahmad.” [Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140]

Dengan demikian memerangi ahli bid’ah dengan hujjah dan dalil kebenaran lebih mulia daripada perang fisik, karena sangat sedikit orang yang sanggup.

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang mampu untuk berjihad melawan ahli bid’ah terutama ulama, agar semua orang memahami kesesatan mereka.


Bersambung ke Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid’ah (II)

{Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al-Ghura’a Al-Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah}

Sumber: Salafy•Or•Id | 29 Disember 2003


Ulasan

Catat Ulasan