Dengan Apa Dakwah Ahlussunnah Dijaga?

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam ~hafizhahullaah~ berkata dalam kitab “Al-Ibanah ‘An Kaifiyah At-Ta’amul Ma’a Al-Khilaf Baina Ahlissunnah Wa Al-Jama’ah” hlm. 32-34:

Dakwah Ahlussunnah memiliki dua penjagaan:

Pertama: Penjagaan luar dari tipu daya musuh-musuh dan seterunya.

Kedua: Penjagaan bagian dalam dan hal ini bermaksud penjagaan dakwah dari (rusaknya) orang yang meniti dan mengemban dakwah ini.

〰〰〰〰〰〰〰
Perkara-perkara yang bisa dilakukan para pegemban dakwah yang dengannya dakwah ini akan terjaga, secara umum adalah sebagai berikut:
  1. Selalu berpegang dengan kejujuran.
  2. Perwujudan keikhlasan.
  3. Menegakkan keadilan.
  4. Berpegang erat dengan manhaj nubuwah secara zhahir dan bathin sesuai kadar kemampuannya, dari sisi berusaha keras untuk mengikuti Rasul ~shallallaahu ‘alaihi wa sallam~.
  5. Mengkoreksi diri atas kesalahan-kesalahannya, dan segera bertaubat darinya ketika mengetahui kesalahannya.
  6. Tidak tergesa-gesa untuk meraih sekelumit perkara dari perkara berupa mengarang, berdakwah, berdebat dan selainnya kecuali setelah dia memang pantas untuk itu. Jangan sampai hal itu dilakukan semata-mata karena ketergesa-gesaan, ingin menampakkan diri, mengalahkan orang dan mendebat orang.
  7. Meminta nasehat dan bermusyawarah dengan orang yang lebih berilmu dan lebih paham akan perkara-perkara yang hangat terjadi.


Sebagian ucapan ulama dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:

‘Abbad bin Al-Khawash ~rahimahullaah~ berkata dalam suratnya kepada para pembawa ilmu sebagaimana disebutkan dalam muqaddimah “Sunan Ad-Darimy” (1/509) no. 675: “Janganlah kalian menjelek-jelekkan dengan alasan bid’ah dalam keadaan engkau sendiri menghiasi diri dengan jeleknya kebid’ahan, sesungguhnya rusaknya ahlul bida’ tidaklah menambah kebaikan bagi kalian. Janganlah kalian menjelek-jelekkannya karena ingin zhalim kepada pelakunya, karena kezhaliman itu merupakan bentuk rusaknya jiwa-jiwa kalian. Tidak pantas bagi seorang dokter mengobati orang yang sakit dengan sesuatu yang menyembuhkan mereka tetapi membuat dirinya sendiri sakit, sesungguhnya jika dia sendiri sakit dia akan tersibukkan dengan sakitnya dan lupa mengobati orang-orang.

Akan tetapi hendaknya mengejar kesehatan bagi dirinya agar kuat mengobati orang-orang sakit. Hendaknya kalian menjadikan perkara yang kalian ingkari dari saudara-saudara kalian itu sebagai bentuk koreksi untuk diri-diri kalian, dan nasehat dari kalian karena Rabb kalian, serta sebagai bentuk kasih sayang kalian kepada saudara-saudara kalian. Hendaknya kalian lebih perhatian terhadap aib-aib kalian sendiri dibanding aib orang lain.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ~rahimahullaah~ berkata dalam “Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql” (7/182): “Sunnah itu harus dijaga dengan kebenaran, kejujuran dan keadilan, tidak dijaga dengan dusta dan kezhaliman. Jika seseorang melawan kebathilan dengan kebathilan dan menghadapi bid’ah dengan bid’ah maka ini adalah suatu perkara yang dicela oleh salaf dan para imam.”

Dan beliau ~rahimahullaah~ berkata dalam sumber yang sama (7/173): “Terkadang mereka melarang dari debat dan adu argumen jika orang mendebat ini lemah keilmuannya terhadap hujjah dan dalam menjawab syubhat. Maka dikhawatirkan atas dirinya akan dirusak oleh orang yang sesat tersebut. Sebagaimana orang yang lemah dalam berperang dilarang untuk memerangi pasukan yang kuat dari pasukan-pasukan kafir. Sesungguhnya hal itu akan memudharatkannya dan memudharatkan kaum muslimin, tanpa ada manfaat (yang diraih).”

Dan beliau ~rahimahullaah~ juga berkata sebagaimana dalam “Majumu’ Al-Fatawa” (28/234-235): “Tidak halal bagi seseorang untuk berbicara dalam bab ini (yaitu membantah orang yang menyelisihi) kecuali dia memaksudkan dengan hal itu mengejar (mengharap, pen) wajah Allah ~Subhaanahu wa Ta‘ala~, untuk meninggikan kalimat Allah ~Azza wa Jalla~ dan agar agama semuanya -semata-mata- hanya untuk Allah ~Jalla wa ‘Alaa~. Seandainya dia berbicara dalam hal itu tanpa ilmu atau jelas-jelas bertentangan dengan kebenaran maka dia berdosa.

Kalau seandainya dia berkata dengan benar namun dengan maksud agar ditinggikan di muka bumi atau dengan maksud membuat kerusakan maka dia sama posisinya dengan orang yang berperang atas dasar fanatik golongan dan riya’. Dan jika dia berbicara karena Allah ~Ta’ala~ mengikhlaskan bagi-Nya seluruh agama ini maka dia termasuk orang yang berjihad di jalan Allah ~Ta’ala~ dan termasuk pewaris para nabi dan pengganti para rasul.”

Al-’Allamah Ibnul Qayyim ~rahimahullaah~ berkata dalam “Ash-Shawa’iq Al-Mursalah” (4/1255): “Tidak ada bagi para pejuang kebathilan -segala puji bagi Allah- satu hujjah pun, tidak pula jalan dari sisi manapun untuk menghantam orang yang mencocoki as-sunnah dan dia belum keluar darinya. Sampai jika dia telah keluar darinya sebatas kuku, pejuang kebathilan menguasainya sekadar keluarnya dia dari lingkaran sunnah.

As-Sunnah adalah benteng Allah ~Azza wa Jalla~ yang kokoh yang siapa masuk padanya, akan termasuk orang yang mendapat keamanan, ia (As-Sunnah, pen) adalah jalan-Nya yang lurus yang siapa berjalan di atasnya akan termasuk orang yang sampai kepada-Nya, dan ia (As-Sunnah, pen) adalah petunjuk-Nya yang nyata yang siapa mengambil cahaya-Nya akan termasuk orang yang mendapat petunjuk.”

Dan saya menutup pembahasan ini dengan sebuah ucapan yang agung ucapan orang tua dan guru kami Al-Waadi’i (Asy-Syaikh Muqbil bin haadi, pen) ~rahimahullaah~ yang beliau ulang-ulang di (telinga) kami, yaitu: “Kita tidak khawatir atas dakwah ini kecuali (kerusakan) dari diri kita.”

Dan beliau ~rahimahullaah~ benar. Demi Allah … Tidaklah aku menemukan dharar (Perkara yang membahayakan, pen) atas dakwah kita yang lebih besar dari kesalahan kita yang nampak ataupun yang tersembunyi. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah ~Azza wa Jalla~.

Diterjemahkan oleh,
‘Umar Al-Indunisy
Daarul Hadits – Ma’bar, Yaman

[Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/07/22/dengan-apa-dakwah-ahlus-sunnah-dijaga]

# Via Al-Akh Mochamad Auza'i #